Aku sendiri adalah wanita yang mendapat karunia wajah yang cantik, itu menurut teman temanku. Aku memiliki rambut yang lurus dan panjang sampai sebahu. Tubuhku sudah kembali ramping dan indah seperti pujian suamiku, meskipun aku baru melahirkan setengah tahun yang lalu. Mungkin hal itu karena aku rajin mengikuti senam aerobik, dan memang aku menjaga pola makan supaya badanku tak semakin melar, dan aku sedikit banyak bangga karenanya.
Cerita dewasa terbaru Aku sendiri tidak bekerja di luar, karena suamiku memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Dan memang suamiku ingin aku menjadi ibu rumah tangga yang baik saja, dengan tinggal di rumah untuk merawat anak kami dengan baik. Kehidupan seks kami juga luar biasa. Suamiku adalah lelaki perkasa di tempat tidur, dan aku sungguh menikmati kehidupanku ini.
Kini kalau suamiku tak ada di rumah, aku hanya tinggal dengan anakku, juga pembantu kami yang kupanggil bi Iyem, satpam kami yang bernama Adrian, tukang kebun kami yang bernama pak Jono, dan juga sopir kami yang bernama Sugeng. Di usiaku yang sekarang ini, nafsu seksku tentu sedang tinggi tingginya. Ditinggal oleh suamiku bekerja seperti ini, kadang aku amat merindukan bermain cinta dengannya. Demikian sekilas tentang keadaanku dan keluargaku.
Hari itu hari Sabtu. Siang hari itu, aku menerima telepon dan aku terkejut dengan berita yang aneh. Aku mendapatkan hadiah sebuah mobil lewat undian sebuah produk. Dan seingatku, aku tak pernah mengikuti prosedur undian itu.
Dengan santai aku berkata, “Pak, terserah bapak mau bicara apa, tapi saya tak akan pernah mentransfer uang apapun untuk pajak atau yang lain”.
Dan orang itu berkata panjang lebar, “Ibu Elly, kami memaklumi kalau ibu berhati hati, memang kami tak menyuruh ibu membayar apapun, karena pajak hadiah ditanggung oleh kami. Kami akan mengantarkan hadiah itu langsung ke rumah ibu sekitar satu jam lagi. Gratis bu, tak dipungut biaya apapun. Ibu boleh mencobanya, kalau ternyata mobilnya bermasalah kami langsung mengganti dengan yang baru. Tapi itu tidak akan terjadi bu, karena kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap mobil ini”.
Mendengar hal ini, aku hanya bisa mengangkat bahu dan berkata, “Ya terserah bapak. Maaf, dengan bapak siapa saya bicara?”.
Dan orang itu menjawab, “Dengan bapak Anto. Ibu bisa menghubungi kantor kami di nomer *** ****. Aku mengiyakan saja dan kemudian memutus pembicaraan. Dalam hati aku merasa aneh, tapi ya kalau gratis, apa salahnya?
Kulihat sekarang ini adalah jam 1 siang. Aku baru selesai makan siang, maka aku menyusui dan menidurkan anakku, supaya nanti ketika aku pergi aku tak begitu kuatir. Dan memang satu jam kemudian aku mendengar bel rumahku berbunyi, dan ketika aku keluar, aku melihat sebuah mobil Kijang Innova keluaran terbaru, dengan cat yang mulus mengkilap. Di belakangnya berhenti sebuah mobil Kijang pickup. Mungkin untuk mereka yang mengantar mobilku ini pulang nanti. Aku agak terkejut juga, berarti mungkin ini benar. Seseorang turun dari mobil pickup itu, sementara orang yang sudah berdiri di depan pintu rumah menyapaku.
“Bu Elly? Saya Anto”, kata orang yang bernama Anto itu sambil mengulurkan tangannya.
Aku menjabat tangannya dengan sedikit perasaan ragu dan menjawab “Elly”.
Orang itu memang penampilannya rapi. Tapi wajahnya agak seram. Aku mencoba membuang semua pikiran negatif. Dan kemudian orang satunya yang berpenampilan biasa biasa, yang juga berwajah biasa biasa, menjabat tanganku.
“Seto”, katanya.
Aku menjabat tangannya dan menjawab, “Elly”.
Setelah acara kenalan yang menurutku hanya formalitas ini, kami duduk di teras rumah, dan aku disodori formulir yang aku baca di bagian awal dan akhir saja, untuk memastikan aku tak keluar uang apapun untuk mendapatkan hadiah ini. Lalu Anto menawarkan padaku untuk mencoba mobil itu, karena nantinya aku harus mengisi formulir untuk memberikan ‘penilaian’ tentang kondisi mobil itu, sebelum acara serah terima surat kendaraan dilakukan. Aku setuju saja, dan aku menerima kunci mobil itu dari Anto. Aku masuk ke dalam mobil itu, joknya masih terbungkus plastik semua, baunya khas mobil baru. Dan dengan didampingi mereka, aku mulai mencoba mobil itu.
Semua baik baik saja, sampai tiba tiba di sebuah gang yang sepi di dekat rumahku, Anto yang duduk di kursi depan menarik handbrake. Aku terkejut sekali, sampai lupa menginjak pedal kopling dan mesin mobil ini mati. Aku menoleh kepada Anto, tapi belum sempat aku bertanya, dari belakang aku dibekap, oleh Seto tentunya. Kurasakan bau yang menyengat, dan tak lama kemudian semuanya gelap…
—
Perlahan aku mulai sadar. Aku mengeluh perlahan, ketika aku tak bisa menggerakkan kedua tanganku yang terentang. Sakit rasanya. Aku mulai mencoba mengerti apa yang terjadi pada diriku. Ternyata kedua pergelangan tanganku yang terentang ini, terikat erat pada semacam pilar di ruangan ini. Sedangkan aku sendiri terbaring di atas matras. Yang membuatku tercekat, aku sudah tak mengenakan apa apa lagi selain bra dan celana dalamku. Kakiku memang masih bebas, tapi apa artinya? Aku kini sudah tak berdaya dengan tangan yang terpasung seperti ini. Aku memejamkan mata dan menggigit bibir, tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi padaku. Aku mulai menyesali kebodohanku tadi, mengapa bisa terjebak dengan iming iming hadiah itu.
Tiba tiba pintu ruangan ini terbuka, lalu masuk seseorang yang membuatku ternganga tak percaya pada pengelihatanku.
“Arman?”, seruku tak percaya.
“Halo Elly… lama tak jumpa… bagaimana kabarnya?”, kata Arman dengan senyum yang membuat hatiku dingin seperti disiram air es. Aku takut sekali.
“Arman… apa yang kamu lakukan ini? Ingat Arman, aku ini kakak iparmu. Tolong lepaskan aku..”, aku mencoba menyadarkan Arman walaupun aku tahu ini mungkin sekali merupakan hal yang sia sia.
Aku tahu Arman memang menginginkan aku sejak aku dikenalkan Albert pada keluarganya. Arman adalah adik Albert yang kini berusia 24 tahun. Wajahnya memang cukup tampan. Dan sejak ia mengenalku, ia sudah beberapa kali mencoba mendekatiku, tapi tentu saja aku tak memberinya respon. Suatu hari ketika aku berkunjung ke rumah Albert saat masih tinggal bersama keluarganya, Arman nekat dan nyaris berhasil memperkosaku. Untung saja waktu itu kepulangan Albert menyelamatkanku, dan sejak itu aku tahu aku harus menghindari orang ini. Tapi kini aku sudah jatuh ke dalam tangannya. Tanpa sadar aku bergidik ngeri.
Mendengar kata kataku, Arman hanya tertawa. Ia mendekatiku dan ‘krek…’. Arman merenggut braku hingga tali talinya putus.
“Aduh…”, aku mengeluh perlahan, sedikit sakit rasanya pada bagian tubuhku yang tertekan tali braku saat ditarik Arman. Aku memejamkan mataku erat erat, malu sekali rasanya payudaraku terlihat oleh laki laki lain selain suamiku.
“Elly… Elly… kamu kira aku segoblok itu sudah bersusah payah menjebakmu seperti ini dan melepaskan kamu begitu saja? Hahaha… aku belum gila, Elly”, kata Arman sambil menyeringai mengerikan saat aku menatapnya dengan marah bercampur takut.
“Arman, kamu gila… lepaskan aku!!”, aku mulai panik dan membentaknya.
‘breeet… breeet’… seruanku dijawab Arman dengan merenggut robek celana dalamku, hingga kini aku sudah telanjang bulat.
Aku menjerit kecil. Kini aku hanya bisa memandangi Arman dengan jantung berdebar ketika ia mulai melucuti pakaiannya sendiri. Sesekali aku mencoba meronta, tapi tak ada hasil sama sekali karena aku benar benar tak bisa menggerakkan kedua tanganku yang terentang lebar. Aku tahu, nasib yang buruk akan segera menimpaku, dan perlahan aku mulai menangis.
“Lho sayang… kok nangis sih? Tenang saja, sebentar lagi kamu juga akan keenakan kok”, ejek Arman yang sudah bersiap di selangkanganku.
Aku semakin ngeri, dengan suara gemetar aku memohon, “Arman, tolong jangan begini… aku ini kakakmu… kakak iparmu… masa kamu tega berbuat begini padaku…”.
Arman tertawa sinis dan berkata dengan suara kasar, “Diam Elly. Kamu telah merendahkanku. Kamu selalu menolakku. Kamu tak pernah menghargai aku”.
Aku sadar kalau aku memang selalu menjaga jarak dengannya, karena aku merasa ia berbahaya. Dan kini memang semuanya terbukti kan?
Dan sambil merenggangkan kedua pahaku lebar lebar, Arman melanjutkan, “Kamu tak pernah mau aku ajak pergi makan berdua. Kamu anggap aku tak layak pergi berdampingan bersamamu. Benar benar perempuan sombong! Karena itu sekarang rasakan pembalasanku!”.
Berkata begitu, Arman menempelkan kepala penisnya ke bibir liang vaginaku. Aku makin panik dan berusaha menggerakkan pinggulku menghindari hunjaman penis Arman saat Arman mulai memajukan pinggulnya.
Berhasil, penis itu tak sampai melesak masuk menerobos liang vaginaku.
Tapi rupanya Arman marah dengan perbuatanku, ia menamparku dengan keras, hingga aku mengaduh dan menangis kesakitan.
“Jangan coba coba lagi Elly, atau nanti kamu akan kuberikan pada dua kacungku di depan itu!”, ancam Arman dengan suara yang mengerikan.
Mendengar hal itu aku langsung melemas dan pasrah, di sela tangisanku, aku hanya bisa mengumpat getir, “Kamu gila.. Arman”.
Arman hanya tertawa dan aku hanya bisa membiarkan kepala penis Arman menemukan bibir liang vaginaku, dan sesaat kemudian aku mengerang kesakitan saat liang vaginaku tertembus oleh batang penis Arman.
Aku mulai menangis saat Arman memompa liang vaginaku. Walaupun aku sudah pernah melahirkan, tapi berkat senam dan ramuan khusus, liang vaginaku kembali menyempit. Konsekuensinya, kini aku merasa kesakitan karena liang vaginaku dipompa penis Arman yang cukup besar.
Aku memalingkan mukaku supaya tak melihat wajah Arman yang kesenangan karena berhasil mendapatkan tubuhku. Ia meremasi kedua payudaraku dengan gemas, seolah melampiaskan segala nafsunya yang tak kesampaian untuk menikmati tubuhku sejak dulu. Sedangkan aku sendiri hanya bisa terus menggeliat kesakitan.
“Elly… punyamu enaak”, erang Arman dengan tatapan penuh gairah padaku sambil terus menggenjotku.
Ingin aku menamparnya, tapi kedua tanganku tak bisa kugerakkan. Aku hanya bisa merelakan liang vaginaku ditembusi oleh laki laki yang harusnya memperlakukanku sebagai kakak iparnya. Tapi Arman memang sudah kesetanan, ia mulai mencumbuiku dengan sangat bernafsu. Bibirku dilumatnya dengan ganas, sementara kedua payudaraku diremasnya dengan kuat.
Perlahan aku mulai terangsang karena perbuatan adik iparku ini, rasa terhina karena diperkosa mulai berganti dengan rasa nikmat yang melanda selangkanganku dan juga sekujur tubuhku.
Rupanya vaginaku sudah mampu beradaptasi dengan ukuran penis Arman yang tadinya terasa begitu menyesakkan. Aku malu sekali, ingin rasanya aku menyembunyikan wajahku yang terasa panas ini. Tapi tentu saja hal itu tak bisa kulakukan, maka aku hanya bisa pasrah namun mati matian berusaha menahan diri supaya tak kelihatan menikmati hal ini.
Tapi sayangnya, tubuhku terlalu jujur, perlahan tanpa mampu kucegah, pinggangku terangkat saat aku menahan nikmat yang luar biasa. Kurasakan penis Arman melesak begitu dalam ketika ia menghunjamkan kuat kuat kedalam liang vaginaku, membuatku menggeliat keenakan seperti cacing kepanasan.
Arman tertawa sinis dan mulai menghinaku, “Ternyata kamu menikmati punyaku juga Elly. Makanya kamu jadi cewek jangan sok suci.. hahaha.. kalau sudah kemasukan gini, toh kamu keenakan juga..”.
Sambil menghinaku Arman terus memompa liang vaginaku dengan gencar. Aku sudah tak tahu apa yang harus kulakukan, karena perlahan tapi pasti aku sedang diantar menuju orgasme.
“Arman… oohh… sudaah… ampuuun… ennngghh”, aku mulai mengerang dan melenguh.
“Kenapa El? Enak ya?”, ejek Arman dan malah makin gencar memompa liang vaginaku.
“Kamu…”, aku tak bisa menjawab, tubuhku menggigil, selangkanganku serasa akan meledak.
Aku terus mengerang dan melenguh, sampai akhirnya aku mengejang hebat, kepalaku terlempar ke sana kemari karena aku menggelepar dihantam badai orgasme ini.
“Oh Elly… kamu cantik sekali kalau seperti ini”, desah Arman yang tak menunjukkan tanda tanda akan orgasme, sementara aku sendiri sedang menderita dalam kenikmatan orgasme yang berkepanjangan ini, dan nikmatnya selangkanganku yang terus dipompa Arman semakin menjadi jadi.
Namun rasa ngilu mulai menghampiri liang vaginaku, dan makin lama rasa itu makin menderaku.
Aku sudah tak kuat lagi, dan berteriak “Armaaan… aaaaah… hentikaaaan… amppuuuun…”.
Ia benar benar perkasa seperti suamiku, hanya saja suamiku lebih pengertian, membiarkanku beristirahat kala aku mengalami orgasme. Sedangkan Arman sama sekali tak memperdulikan keadaanku, ia hanya mencari kenikmatannya sendiri.
Aku makin menderita dalam kenikmatan ini, rasanya tulang tulang di dalam tubuhku terlepas semua dari sambungannya, sementara tubuhku meliuk liuk dan menggelepar terhempas badai orgasme yang terus menerus ini. Entah cairan cintaku sudah membanjir berapa banyak, aku mulai pening dan tak mampu mengerang lagi. Dengan kejam Arman terus memompa liang vaginaku, sampai akhirnya ruangan ini rasanya berputar, semuanya gelap…
Ketika aku mulai sadar, kurasakan kedua puting susuku seperti ada yang mengulum dan menyedoti dengan kuat. Vaginaku masih terasa sedikit sakit, tapi sudah tak terasa sesak, artinya Arman sudah selesai memompa liang vaginaku. Becek sekali rasanya liang vaginaku, aku tahu si brengsek itu pasti mengeluarkan spermanya di dalam sana. Untungnya aku sedang dalam masa tidak subur, jadi aku tak perlu takut hamil. Tapi kini aku sadar, ada dua orang sekaligus yang mengulum puting susuku, yang berarti ada orang lain selain Arman. Dan aku mulai mengenali mereka berdua ini, bahkan Arman bukan salah satu dari mereka. Ternyata Anto dan Seto yang kini sedang menyusu pada kedua payudaraku.
“Jangaaaan”, aku menjerit ngeri.
Aku tak bisa berbuat apa apa, kedua tanganku yang terentang ini tak bisa kugerakkan sedikitpun, sementara mereka berdua dengan santai meneruskan perbuatan mereka.
“Lepaskan aku… Armaaan kamu bajingaaaan…”, aku mengumpat dalam keputus asaanku.
Dan kudengar tawa yang membuatku bergidik ngeri. Kemudian aku melihat Arman masuk, dan memegang handycam.
Ia merekamku! Merekamku yang sedang pasrah tak berdaya saat kedua puting susuku disedot oleh kedua kacungnya.
“Biadab kamu Arman… Kamu kan sudah janji..”, aku langsung terdiam.
Bajingan ini memang tak pernah berjanji apa apa.
“Kenapa Elly? Kok diam? Apa aku salah? Aku memang tak pernah berjanji kalau kamu tak akan kuberikan pada mereka bukan? Hahahaha…”, Arman tertawa dengan memuakkan.
Aku hanya bisa menangis. Habislah aku, aku sudah dalam cengkeraman Arman sepenuhnya. Entah seperti apa nasibku di hari hari berikutnya. Sementara kedua kacung Arman ini tertawa senang, dan mereka kembali mencucup kedua puting susuku dengan bersemangat, tak lupa tentunya mereka juga meremasi payudaraku.
Beberapa saat kemudian, dengan gaya yang menjijikkan, mereka membuka mulut mereka yang penuh air susuku ke arah kamera.
“Wow.. air susu Elly”, kata Arman sambil menyorot mulut kedua kacungnya.
Kedua orang itu menelan air susuku.
“Bagaimana rasanya Anto? Seto? Enak tidak?”, tanya Arman penasaran.
“Gurih abis bos, susu amoy gini”, kata Anto.
“Lebih enak dari susu sapi”, sambung Seto.
Kurang ajar sekali mereka ini. Dan Arman kelihatannya penasaran, lalu ia menaruh handycamnya.
“Aku juga ingin coba”, gumannya.
Ia mendekati payudaraku, dan setelah memberikan beberapa jilatan yang membuatku mau tak mau merasa terangsang, tiba tiba ia sudah mencucup puting susuku. Beberapa sedotan dilakukannya, sementara aku hanya bisa mendesah keenakan.
“Bos, susunya diremas”, kata Anto.
“Bisa tambah banyak keluarnya”, Seto menyambung.
Maka Arman menyedot puting susuku sambil meremasi payudaraku. Aku sedikit menggeliat kesakitan. Ia terus melakukannya sampai puas, sementara aku hanya bisa menggigil menahan nikmat.
“Susu yang enak, Elly”, kata Arman dengan nada puas.
“Nanti aku minta lagi”, sambungnya sambil kembali mengambil handycamnya.
“Lanjutkan”, perintah Arman pada Anto dan Seto.
Mereka berdua yang sudah melepaskan semua baju mereka hingga telanjang bulat selagi menunggu Arman mencicipi susuku. Mereka tentu saja kembali mengerubutiku dengan kesenangan.
Handycam itu kembali merekamku. Kini Anto dan Seto berniat memuaskan diri mereka sendiri, bisa terlihat dari mereka mengocok penis mereka sendiri untuk makin menegangkan ereksi penis mereka. Melihat ukuran penis mereka berdua ini, aku makin ngeri. Baik panjang maupun diameternya semuanya lebih dari ukuran milik Arman.
Aku berusaha mematikan semua perasaanku. Kini aku digumuli oleh dua kacung si Arman. Kedua pahaku dilebarkan oleh Anto. Aku masih terlalu lemas untuk mencoba menghindar.
Akibatnya, bless… kembali liang vaginaku tertusuk oleh sebatang penis.
Aku menggigit bibir, menahan segala perasaan malu dan sakit ini, air mataku terus mengalir. Handycam yang dipegang Arman terus menyorot ke arah vaginaku yang sedang dipompa oleh Anto. Mukaku rasanya panas sekali membayangkan aku sedang membintangi film porno amatir ini.
Perlahan Arman mengarahkan sorotan handycamnya ke arah tubuhku bagian atas, dan sempat berhenti agak lama ketika menyorot kedua payudaraku. Seto sempat meremasi kedua payudaraku dan semua itu disorot oleh Arman. Sementara itu tubuhku harus terus menggeliat karena menerima rangsangan dua orang sekaligus. Liang vaginaku dipompa dengan gencar oleh Anto sementara kedua payudaraku diremas dengan gemas oleh Seto. Aku sendiri antara mendesah keenakan dan merintih kesakitan. Liang vaginaku masih belum beradaptasi sepenuhnya dengan ukuran penis Anto, tapi sudah mendatangkan nikmat yang membuatku serasa melayang.
“Sudah… hentikaaan…”, aku mengerang dan mulai menggelepar, karena kurasakan liang vaginaku kembali ngilu dipompa segencar itu.
Anto sendiri kelihatannya sudah akan berejakulasi, tubuhnya bergetar hebat saat menggenjotku, dan tak lama kemudian ia mengerang panjang dan meneriakkan namaku, “Ooouuuhhh… bu Ellyyy…”.
Tubuhnya berkelojotan di atasku, dan kurasakan penisnya berdenyut keras di dalam sana. Beberapa semprotan lahar panas kurasakan membasahi liang vaginaku, dan Arman segera bergerak ke tempat yang bagus untuk menyorotan handycamnya ke arah vaginaku. Kurasakan Anto mencabut penisnya perlahan, dan Arman terus menyorot daerah vaginaku, aku malu sekali. Gejolak yang sempat membuatku hampir orgasme kini mereda. Tapi gilanya, si Seto langsung bersiap menggilirku, ia sudah mengarahkan penisnya ke liang vaginaku. Aku memang tak bisa apa apa, hanya bisa menggigit bibir saat kurasakan liang vaginaku tertusuk oleh penisnya Seto. Hanya saja sekarang rasanya tak begitu sakit, dan setelah beberapa genjotan, Arman menyorot mukaku, karena si Anto sudah menempelkan penisnya ke mulutku.
“Elly, ayo kulum”, perintah Arman.
Aku hanya bisa menurut, toh aku sudah tak ada gunanya lagi membantah. Daripada aku mendapat tamparan atau siksaan lain, aku lebih baik mengikuti kemauan bedebah ini. Perlahan kubuka mulutku, dan penis Anto yang masih belepotan sperma dan cairan cintaku, menerjang masuk ke dalam mulutku. Rasanya amis dan asin, membuatku ingin muntah. Tapi aku berusaha tak memikirkan rasanya, dan ingin cepat menyelesaikan tugasku. Aku terus mengulum penis si Anto ini, kubersihkan cepat cepat dan kutelan semua sisa spermanya dan cairan cintaku sendiri. Anto yang sudah tak tahan mengerang panjang dan menarik penisnya dari mulutku.
Penderitaanku belum selesai.
“Buka mulutmu, Elly”, perintah Arman sambil menyorotkan handycamnya ke mulutku.
“Perlahan!”, perintahnya lagi.
Aku mulai membuka mulutku perlahan, dan Arman terus menyorot mulutku.
“Bagus”, katanya dengan puas.
Aku malu sekali, pasti aku terlihat layaknya seorang wanita nakal dalam handycam itu. Tak lama kemudian tubuhku terguncang guncang, rupanya Seto mulai menikmati liang vaginaku. Dengan bersemangat ia menggenjot liang vaginaku, sementara aku tak tahu bagaimana sekarang raut wajahku saat menahan malu dan nikmat dan disorot oleh handycam milik Arman. Panas sekali wajahku rasanya, untungya Arman kemudian ganti menyorot tubuhku bagian bawah. Kini aku tinggal memusatkan perhatianku pada si Seto.
Diam diam aku melakukan gerakan kegel, sejenis gerakan menahan buang air kecil, sambil pura pura merintih keenakan, supaya Seto cepat ejakulasi dan semua ini segera berakhir. Sesuai harapanku, tak lama kemudian Seto yang terangsang habis habisan, melolong lolong dan meneriakkan namaku.
“Aaaaarrrrghh… Bu Ellyyyyy…”, jeritnya dan kemudian ia menarik penisnya, tentu saja setelah di dalam sana liang vaginaku dibasahi lahar panasnya.
Arman dengan giat terus menyorot liang vaginaku yang tentunya tak mampu menampung sperma kedua pemerkosaku ini. Jari tangannya ditusukkan ke liang vaginaku mengorek sisa sperma Anto dan Seto. Seto sendiri segera beranjak ke arah wajahku, aku tahu ia hendak menagih jatah servis oral dariku.
Seperti tadi, Arman yang buru buru mengarahkan handycamnya ke wajahku memberikan instruksi instruksi padaku hingga membuatku kembali terlihat seperti pelacur. Tapi aku hanya bisa menurutinya, walaupun dengan hati pedih.
Setelah semua selesai, Arman mematikan handycamnya.
“Arman, sudah, lepaskan aku… please”, aku memohon.
Tapi Arman tak menjawab, malah ia dengan bernafsu melihat ke arah payudaraku.
Aku langsung tersadar dan teringat keinginan Arman tadi, yaitu ingin merasakan air susuku lagi.
Dan memang benar, Arman segera melumat puting susuku, ia menyedot susuku sepuas puasnya. Aku mendesah keenakan, memang rasanya nikmat sekaligus amat merangsangku. Aku menggigit bibir, apalagi Anto ikutan melakukan hal yang sama pada puting susuku yang sebelah. Kini dua orang dewasa menyusu pada kedua payudaraku seperti bayi, dan aku hanya bisa memejamkan mata berharap mereka segera selesai.
Aku melamunkan suamiku… maafkan aku Albert… aku bahkan sempat orgasme ketika diperkosa adikmu…
—
Tak terasa sampai si Seto juga sudah puas menyusu, dan akhirnya ikatanku dilepaskan. Lega rasanya, walaupun terasa sakit pada bekas ikatan di kedua pergelangan tanganku. Aku duduk dan mengurut kedua pergelangan tanganku, dan aku memandang Arman dengan benci sekaligus takut, karena dengan rekaman handycam itu, ia pasti akan menggunakannya untuk mengancamku agar menurutinya kelak kalau ia menginginkan tubuhku lagi. Ia tersenyum dengan penuh kemenangan ketika bersama dua kacungnya melihat hasil rekaman film porno tadi.
Aku malu sekali, dan aku mencari cari pakaian luarku yang ternyata berserakan tak jauh dari tempat aku digangbang tadi.
“Sudah puas kalian?”, bentakku dengan jengkel dan menahan tangis.
Aku memakai pakaianku tanpa bra dan celana dalam. Keduanya memang sudah tak bisa aku pakai karena tadi direnggut paksa dari tubuhku hingga robek. Mereka tertawa tawa dan beberapa saat lamanya mereka menonton rekaman pemerkosaan terhadap diriku, kemudian Arman mematikan handycamnya. Ia menghampiriku dan tiba tiba melumat bibirku.
Aku menarik wajahku ke belakang untuk melepaskan diri dari ciumannya, lalu aku menamparnya, keras sekali.
“Bajingan kamu Arman! Kamu tega sekali melakukan ini semua… sekarang antarkan aku pulang!”, kataku lirih, sambil menangis.
Arman mengelus pipinya yang baru kutampar keras itu dan memandangku dengan aneh. Aku bergidik ditatap oleh Arman seperti itu. Lalu Arman melangkah ke arah luar diikuti oleh kedua kacungnya. Aku mengikuti mereka, dan dengan tegang aku masuk ke dalam mobil Kijang Innova pembawa petaka itu. Aku duduk di kursi penumpang depan, Arman yang menyetir, sementara Anto dan Seto duduk di belakang.
Dalam perjalanan, kami semua diam, sedangkan aku sendiri dalam ketegangan yang luar biasa, karena aku berada semobil dengan para pemerkosaku. Tapi untungnya mereka tak melecehkanku lebih lanjut, dan mobil sialan ini mengarah ke rumahku.
Ketika aku turun dari mobil, aku mendengar Arman berkata, “Elly, sampai ketemu lagi, kapan kapan kita main main lagi ya”.
Dengan muak aku membanting pintu mobil, dan aku segera masuk ke dalam rumah sambil menahan tangis.
Aku segera melihat anakku. Agak lega melihatnya masih tertidur pulas.
Aku segera mandi dan keramas, membersihkan tubuhku yang sudah ternoda oleh adik iparku yang bejat itu, yang tega menyerahkanku pada dua kacungnya. Aku memang rindu bermain cinta, tapi itu adalah dengan suamiku sendiri, bukan dengan Arman, bukan dengan mereka ini. Apalagi diperkosa seperti tadi, sakit sekali hatiku rasanya. Tanpa sadar aku kembali menangis.
Aku tahu hari ini adalah hari pertama aku mengalami penghinaan seperti ini, dan ini bukan hari terakhir.
Terbukti dua hari kemudian, aku mendapat kiriman DVD dari Arman, yang berisi rekaman pemerkosaan terhadap diriku oleh dua kacungnya itu, dengan sebuah surat bertuliskan “Elly, lain kali kita bermain tanpa ikatan pada kedua tanganmu… kamu pasti akan lebih menikmatinya”
Beberapa hari setelah kiriman DVD dari Arman, kegelisahanku terbukti menjadi wujud nyata. Adrian, satpam rumahku, masuk ke dalam rumah menemuiku. Ia terlihat tegang. Aku jadi ikut kuatir, apa ada berita buruk?
“Adrian, ada apa?”, tanyaku dengan sedikit panik.
“Nyonya Elly, di luar.. ada pak Arman”, kata Adrian.
Aku terdiam.
“Nyonya, saya sudah usir dia pergi, tapi kata pak Arman, dia sudah buat janji sama nyonya, dan katanya nyonya bisa mendapat masalah kalau tak menemuinya”, kata Adrian.
Aku termangu. Iya… memang aku bisa mendapat masalah kalau kamu menyebarkan rekaman itu… bajingan kamu, Arman…
“Saya kuatir kalau itu benar, dan saya laporkan ke nyonya dulu. Apa nyonya ingin saya mengusirnya seperti biasa?”, tanya Adrian lagi membuyarkan lamunanku.
“Jangan… maksudku… Adrian, biarkan dia masuk. Saya memang ada perlu”, kataku tergagap.
“Baik nyonya”, kata Adrian.
“Eh Adrian!”, aku setengah berteriak menghentikan langkah Adrian.
“Iya nyonya?”, tanya Adrian.
“Pak Arman… dia sendirian atau membawa teman?”, tanyaku dengan tegang.
“Sendirian nyonya”, jawab Adrian.
Aku menangguk dan Adrian segera keluar. Jantungku berdegup kencang, walaupun aku sedikit lega. Kalaupun aku hari ini diperkosa Arman, paling tidak tak diperkosa ramai ramai seperti waktu itu.
Aku sudah tahu hari ini pasti akan tiba. Maka aku sudah berjaga jaga dengan minum pil anti hamil, karena aku tak yakin kapan masa tidak suburku akan berakhir. Aku tak mau sampai harus mengandung bayi dari Arman, apalagi dari kacung-kacungnya itu.
Dengan cepat aku ke kamar, memindahkan bayiku yang masih tertidur lelap ke kamar sebelah. Aku tak ingin terjadi sesuatu pada bayiku. Aku mengunci kamar tempat aku menyembunyikan bayiku, dan kunci itu kutaruh di dalam tasku. Lalu aku keluar dan duduk di sofa ruang tamu, siap menerima malapetaka yang akan menimpaku.
“Halo Elly… bagaimana kabarmu?”, kudengar suara Arman.
Aku melihatnya dengan muak, tapi karena ada Adrian, aku terpaksa menjawab, “Ya, baik baik. Terima kasih”.
“Nyonya, apa nyonya masih perlu dengan saya?”, tanya Adrian.
“Tidak Adrian. Kamu boleh pergi”, jawabku dengan berat. Ingin rasanya aku minta tolong padanya untuk menjagaku dari, tapi itu tak mungkin kulakukan. Rekaman itu membuat posisiku benar benar harus pasrah pada kemauan Arman. Maka Adrian keluar dari sini, tinggal aku dan Arman yang memandangiku dengan senyum kemenangan.
“Elly, tunjukkan kamarmu”, kata Arman dengan suara yang menurutku mengerikan.
“Untuk apa?”, tanyaku dengan ketus.
“Elly, kamu mau melayani aku di ruang tamu ini supaya kelihatan orang, atau di kamarmu supaya kamu bisa melepaskan ekspresi kenikmatanmu dengan bebas?”, tanya Arman.
Aku tercekat. Dengan terpaksa aku berdiri, menuju kamarku diikuti oleh Arman. Setelah kami berdua ada di dalam, Arman mengunci pintu kamarku. Lalu ia meraih tubuhku, mendekapku dan melumat bibirku. Aku meronta dan berhasil melepaskan diri.
Ketika aku melayangkan tangan kananku untuk menamparnya, Arman menangkap pergelangan tangan kananku. Sakit rasanya… aku sampai menggigit bibir.
“Elly, jangan coba-coba! Kamu sebaiknya menuruti keinginanku. Jangan bertingkah, atau rekaman itu aku kirim ke meja kerja suamimu!”, ancam Arman dengan dingin.
Aku menggigit bibir, dan mengendurkan tanganku. Dengan mudah Arman kembali mendekapku, melumat bibirku. Aku hanya bisa menelan segala perasaan tak rela yang kurasakan, tapi aku sudah tak berani melawan. Arman makin bernafsu mencumbuiku dengan sepuas-puasnya, ia menciumi seluruh wajahku, mengecup kedua mataku, hidungku, daguku, kedua pipiku, dan akhirnya kembali melumat bibirku. Aku memejamkan mata, berharap hari ini cepat berakhir.
“Elly… kamu cantik sekali”, kata Arman setelah ia melepaskan lumatan pada bibirku.
Aku diam saja.
Tiba-tiba Arman mendorongku ke ranjang. Aku terbanting dan terbaring di ranjang. Dan Arman… ia naik ke ranjang ini… ranjang pengantinku…
Oh Tuhan… apakah aku akan diperkosa Arman di ranjang pengantinku? Maafkan aku Albert…
Kini Arman sudah menindih tubuhku. Ia menggumuliku sedangkan aku mulai menangis. Rasanya kini aku sudah tak lebih baik dari seorang pelacur. Aku tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa membiarkan Arman menikmati tubuhku sesuka hatinya.
Cerita dewasa terbaru Setelah puas menggumuliku, Arman mulai menelanjangiku. Ia melakukannya dengan mudah, karena aku hanya mengenakan gaun tidur dengan bra dan celana dalam yang sexy, yang harusnya kupersembahkan hanya untuk suamiku. Semuanya dilemparkan Arman seenaknya begitu saja ke lantai kamarku. Setelah aku sudah telanjang bulat, Arman juga mulai melepaskan semua pakaiannya.
Aku menggigit bibir, memalingkan muka dan memejamkan mataku, supaya aku tak usah melihat saat-saat Arman sedang menjarah tubuhku. Beberapa saat kemudian, aku terbeliak ketika penis Arman sudah menerobos liang vaginaku. Rasanya sesak sekali.
“Elly… enak ya?”, ejek Arman.
Lagi lagi aku diam.
‘Plakkk’… Arman menamparku.
“Kalau aku tanya itu jawaab!!”, bentak Arman dengan kejam.
“I.. Iya Arman”, aku menjawab sambil menangis.
‘Plakkk’… lagi lagi bajingan ini menamparku.
“Iya apa? Jawab yang jelaaas!!”, bentak Arman lagi.
“Iya… Iya Arman… E.. Enak…”, aku menjawab dengan panik, sambil menangis dan memegangi kedua pipiku terkena tamparan Arman.
Arman tertawa tawa mendengar jawabanku. Ia mulai menggenjotku. Aku mengernyit menahan sakit dan sesekali aku merintih kesakitan, karena gerakan Arman begitu kasar. Setiap tusukan penis Arman terasa menyakitkan, apalagi aku belum terangsang sama sekali, jadi liang vaginaku belum basah.
Kurasakan Arman mulai meremasi kedua payudaraku. Sebentar ia meremas lembut, tapi tiba-tiba ia meremas dengan kasar. Puting susuku dipilin dan dicubit oleh Arman.
Aku menggigit bibir, kali ini aku mulai terangsang.
“Elly. Kamu suka ya kalau susumu diremas seperti ini?”, tanya Arman dengan nada yang sangat melecehkanku.
Aku takut kena tampar lagi.
“Iya Arman… aku suka”, aku memaksakan diri menjawab, walaupun sesungguhnya aku muak, dan sesungguhnya aku sangat tak ingin menjawabnya.
Arman tertawa tawa, ia makin cepat memompa liang vaginaku.
Aku mulai kewalahan. Perlahan rasa sakit di liang vaginaku berganti rasa nikmat. Akhirnya liang vaginaku sudah basah oleh cairan cintaku, dan mungkin sudah beradaptasi sepenuhnya akan keberadaan penis Arman di dalam situ. Aku menggigit bibir dan tubuhku mulai gemetar. Sebenarnya aku ingin sekali tak menunjukkan keadaanku yang sekarang, dimana aku merasa nikmat walaupun diperkosa. Tapi aku tak berdaya untuk melakukan itu, rasanya tubuhku panas sekali, dengan kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhku.
“Arman… eeengghh…”, aku mulai tak tahan.
Tubuhku menggeliat kesana kemari, dan tanganku mencengkeram sprei dengan erat.
Arman tertawa senang melihat reaksiku, tapi aku sudah tak bisa menahan semua gerakanku lagi seingin apapun aku melakukannya. Aku menggigit bibir, tubuhku mengejang dan tersentak sentak setiap Arman menghunjamkan penisnya yang bersarang begitu dalam di liang vaginaku.
“Arman… amm… eenggghhh… ammpuuun…”, aku mengerang. Rasa nikmat yang melanda vaginaku semakin dahsyat, akhirnya aku mencapai orgasmeku. Kedua pahaku rasanya kaku, dan kedua betisku rasanya tertarik. Perutku sedikit kram, sementara badanku bergetar tak karuan.
“Eennggghhh… aduuuuh… Armaaan… hentikaaan… eeenggghh…”, aku melenguh lenguh tanpa daya.
Tapi Arman tak memperdulikanku.
Yang kudengar hanya ‘slebb… slebb…’
Bunyi penis Arman yang terus merasuk dalam liang vaginaku.
Vaginaku rasanya ngilu sekali.
Aku sudah tak mampu melenguh, tapi hunjaman penis Arman makin gencar mengaduk liang vaginaku.
Maka akhirnya aku mulai pening. Kamarku rasanya seperti berputar. Semuanya gelap…
—
Samar samar aku mendengar suara wanita merintih. Aku mulai mendapatkan kesadaranku kembali. Dan ketika semuanya sudah jelas, aku melihat TV di kamarku, sedang memperlihatkan rekaman waktu aku diperkosa oleh dua kacung Arman. Dan lebih celaka lagi, ketika aku melihat sekelilingku, aku melihat Arman yang tersenyum dengan menjijikkan padaku, sementara Adrian, satpam rumahku, dan Jono tukang kebunku, juga Sugeng, sopirku, semua sedang berada di kamar ini, semuanya melihat rekaman laknat itu.
“Kalian…”, kataku lirih, sambil beranjak duduk dan menutup tubuhku sebisanya dengan selimut.
Tentu saja mereka pasti sudah melihat tubuh majikan mereka yang telanjang bulat ini, yang terbaring polos… di atas ranjang pengantinnya.
Aku malu sekali, melihat mereka semua begitu memperhatikan layar TV, ketika aku harus disetubuhi oleh Seto sementara Anto mendapatkan servis oral dariku.
Aku memejamkan mata, menunggu mereka selesai menonton rekaman itu. Dalam hati aku mengutuki Arman, yang tega berbuat sejauh ini padaku. Beberapa menit kemudian, adalah akhir dari rekaman itu. Akhir dari keadaan yang begitu memalukan buatku. Tapi aku tahu, ini adalah awal dari jatuhnya aku ke dalam penderitaan yang baru. Kehancuran martabatku di rumahku sendiri…
“Gimana pendapat kalian semua? Nyonya kalian yang cantik ini… memang menggairakan bukan?”, tanya Arman pada mereka bertiga.
Semuanya menunduk, tapi sesekali mencuri pandang ke arahku.
Aku tahu aku tak mungkin mengharap pertolongan apapun pada mereka.
Mereka bertiga adalah lelaki normal, yang tentu saja… terangsang hebat melihat keadaanku sekarang ini…
Apalagi setelah mereka baru saja selesai melihat adegan film porno yang kubintangi itu…
“Tubuhnya benar benar kencang, meskipun baru melahirkan. Sexy sekali. Juga susunya nyonya kalian ini, enak sekali rasanya. Kalian tak ingin mencobanya?”, tanya Arman lagi.
Mereka semua tetap menunduk, dan kulihat mereka menelan ludah.
“Kamu”, kata Arman sambil menunjuk Sugeng.
“Kamu yang beruntung jadi yang pertama dari kalian bertiga, yang boleh mencicipi susu nyonyamu”, sambung Arman.
Aku menggigil, tanpa sadar aku menangis, tanpa suara.
“Elly, buka selimut itu. CEPAT!”, bentak Arman.
Aku tersentak, dan perlahan aku menurunkan selimut ini.
Arman menyalakan handycamnya. Ia sudah bersiap merekamku, merekam saat-saat aku harus menjadi budak seks ketiga orang ini.
Kini tubuhku terpampang di depan Sugeng yang sudah mendekatiku, dan ia memandangku dengan bernafsu sekali. Aku bergidik, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, dan membiarkan sopirku ini naik dan duduk di sebelahku, di ranjang pengantinku…
“Nyonya”, kata Sugeng, dengan suara bergetar, dan dari pandangannya aku tahu kalau ia sangat menginginkanku.
Aku diam saja saat Sugeng sudah mulai meremas payudaraku. Dan sesaat kemudian Sugeng mendekatkan mulutnya ke puting susuku. Semua itu disorot Arman dengan sangat intensif. Aku memejamkan mata, ketika Sugeng sudah mulai menyusu. Ia menyedot puting susuku dengan penuh gairah, sesekali kurasakan ia meremas kuat payudaraku seperti yang dilakukan oleh kacung-kacung Arman itu.
“Ssssh…”, aku mendesis.
“Elly. Kamu menikmatinya kan?”, tanya Arman, aku melihatnya mengarahkan handycamnya ke wajahku.
Aku kembali memejamkan mata, dan memaksa diri mengangguk dengan wajahku yang terasa sangat panas.
“Kamu ingin yang lebih enak kan Elly?”, tanya Arman lagi.
“Aku…”, aku terlalu malu untuk menjawab.
“JAWAB!!”, bentak Arman.
Aku sampai membuka mata karena terkejut, bahkan Sugeng yang rupanya juga ikut terkejut sampai melepaskan kulumannya pada puting susuku.
“Iya Arman. Aku… aku ingin yang lebih enak”, aku lagi lagi terpaksa harus menyenangkan hati Arman.
“Kalau begitu, kamu!”, tunjuk Arman pada Jono dengan menggunakan handycamnya.
“Bantu temanmu memuaskan nyonyamu! Cicipi susunya sepuasmu, nyonyamu suka kalau ada yang menyusu padanya”, kata Arman, dengan nada yang sangat melecehkan aku.
Tanpa disuruh dua kali, Jono langsung berdiri dan mendekatiku.
Ia segera menuju ke payudaraku yang masih menganggur, dan bersama Sugeng kini mereka berdua mencucup puting susuku.
“Ssssshh…”, aku kembali mendesis.
Diiringi sorotan handycam Arman, remasan demi remasan dari mereka yang kurasakan perlahan mulai merangsangku kembali. Tubuhku bergetar menerima semua ini. Air susuku entah sudah disedot berapa banyak oleh mereka berdua ini, yang entah sampai kapan baru akan puas menyusu padaku.
Beberapa menit kemudian, saat aku sudah makin terangsang, dan hampir saja merintih karena sedotan-sedotan pada puting susuku dan remasan-remasan pada payudaraku, tiba tiba Arman menghentikan mereka.
“Sudah, hentikan”, kata Arman.
Mereka berdua berhenti menyusu padaku, dan menatapku dengan penuh nafsu.
“Bagaimana rasanya susu nyonya kalian?”, tanya Arman.
“Enak, pak”, jawab Sugeng.
“Nggak cuma enak goblok”, kata Jono pada Sugeng, dan ia segera menoleh ke arah Arman dan menyambung, “Sangat enak, pak”.
“Bagus”, kata Arman.
“Sekarang berikan kesempatan pada teman kalian ini”, kata Arman sambil menunjuk Adrian.
Adrian hanya menunduk saat wajahnya disorot handycam Arman.
“Hei satpam goblok! Kamu nggak mau susu nyonyamu?”, bentak Arman.
Adrian menatapku dengan ragu, kemudian ia menjawab Arman, “Pak, saya kasihan pada nyonya”.
Aku cukup terkejut melihat sikap Adrian. Ia memang selama ini baik terhadapku. Cuma aku nyaris tak percaya pada pendengaranku. Kedua rekannya, Sugeng dan Jono, sudah membuktikan mental bejat mereka. tapi Adrian masih menunduk, tak tega untuk ikut ambil bagian menodaiku!
“Terima kasih Adrian”, kataku dalam hati. Diam diam aku makin kagum padanya. Adrian memang lain. Ia selalu menghormatiku dan berlaku sopan padaku.
“Kamu jangan sok suci!”, bentak Arman dengan gemas, dan ia menoleh pada Sugeng dan Jono yang masih ada di samping kanan dan kiriku.
“Kalian berdua! Telanjangin satpam goblok ini. Paksa dia untuk menyetubuhi nyonya kalian!”, kata Arman dengan geram.
Adrian melawan. Ia dengan gagah berusaha memukul roboh Sugeng dan Jono. Tapi Arman sialan itu, dari belakang ia memukul kepala Adrian, hingga Adrian harus roboh. Dan Adrian yang sudah tak berdaya itu harus menerima hujan pukulan dan tendangan dari mereka bertiga. Mereka terus memukuli Adrian.
Aku tak tega melihat Adrian dihajar seperti itu, terpaksa aku menguatkan hatiku dan berteriak, “Hentikan!!”.
“Adrian, lakukanlah. Kamu tidak perlu berkorban untukku. Aku toh sudah ternoda”, kataku lirih sambil menangis.
“Aku ingin tahu apa kamu masih bisa berlagak sok suci kalau sudah merasakan liang nyonyamu”, ejek Arman sambil mengarahkan handycam ke arah Adrian. Kini Adrian sudah dilucuti pakaiannya oleh Sugeng dan Jono, dan Adrian digeret ke atas ranjang pengantinku. Ranjang dimana aku sudah dinodai adik iparku, dan dimana aku harus pasrah menyusui tukang kebunku juga sopirku.
Adrian masih mematung di depan selangkanganku, walaupun aku tahu ia terangsang hebat melihatku, dari penisnya yang sudah ereksi dengan gagah. Oh… penis itu… aku sempat bergidik ketika aku melihat mengira ngira ukuran penisnya, panjangnya sekitar 15 cm. Diameternya memang hanya sekitar hampir 4 cm, tapi kepala penisnya besar, mungkin diameternya lebih dari 5 cm. Ia memiliki penis yang lebih panjang dari semua laki laki yang pernah menyetubuhiku. Dan… aku suka melihat penis Adrian yang sudah disunat ini, begitu sexy dan merangsang di mataku.
“Kalau dia tidak segera mulai, hajar dia”, kata Arman dingin.
Aku tak ingin Adrian menerima pukulan lagi, dan aku menarik tangannya hingga ia menindihku.
“Adrian… lakukan saja”, kataku.
Entah kenapa aku merasa rela kalau Adrian menyetubuhiku. Ia memang tampan, badannya atletis, dan ia selalu baik padaku. Apalagi tadi ia sampai rela menerima pukulan dan tendangan, hingga banyak bagian tubuhnya yang membiru.
“Nyonya… maafkan saya”, kata Adrian lirih.
Aku mengangguk lemah.
“Sssshh…”, aku mendesah dan menggigit bibir ketika kepala penis dari Adrian mulai membelah bibir liang vaginaku.
“Sakit nyonya?”, tanya Adrian kuatir.
Aku menggeleng dan tersenyum padanya.
Penis itu terus merangsek masuk ke dalam liang vaginaku, dan aku menggeliat. Sakit? Tidak sama sekali. Memang penis itu terasa kasar, tapi Adrian benar benar melakukan dengan lembut. Lagipula rasanya enak sekali, bibir vaginaku tak terkuak begitu besar, tapi terasa seperti ada bola besi besar yang mengaduk liang vaginaku di bagian dalam sana.
Aku memandang Adrian sayu, ia pun memandangku dengan cara yang sama. Ia terus memompa liang vaginaku, dan aku merasakan kemesraan dari tiap genjotan yang kuterima darinya. Aku tak perduli pada mereka bertiga yang menonton dengan iri, aku tak perduli lagi kalau semua ini direkam oleh handycam Arman. Malah aku sengaja memamerkan sikapku kalau aku suka aja disetubuhi Adrian. Tak ada yang perlu aku pikirkan ataupun aku sesalkan lagi, toh aku memang sudah ternoda sebelumnya. Aku bukan lagi seorang istri yang suci.
“Adrian…”, desahku di antara geliat tubuhku yang mulai keenakan.
“Iya nyonya?”, Adrian menanggapi, suaranya bergetar sekali, tanda bahwa dia sangat terangsang.
Ingin aku mengatakan padanya… jangan panggil aku nyonya…
Ingin aku menjerit padanya… panggil aku Elly, sayang… aku milikmu… sepenuhnya…
Tapi di sini ada orang lain selain kita…
Aku memejamkan mata, membentuk bibirku seperti akan menyambut ciuman lelaki.
Sesaat kemudian, kurasakan nafas Adrian yang hangat berhembus menerpa wajahku.
Kecupan Adrian pada bibirku begitu lembut, dan penuh perasaan. Aku melingkarkan betisku ke pinggang Adrian, dan memeluk lehernya dengan kedua tanganku. Kini aku dan Adrian benar benar menyatu, hunjaman penis Adrian terasa makin dalam saja. Dan aku… aku melayaninya… dengan segenap perasaanku, aku cium Adrian dengan sepenuh hati, sampai akhirnya kami melepas ciuman kami dan saling berpandangan, tersenyum mesra.
“Ohh… Adrian… eengghhh…”, aku kembali harus menikmati saat saat kepala penis Adrian mengorek seluruh dinding liang vaginaku. Tubuhku sampai bergetar hebat dan pinggangku melengkung ke atas, aku tak bisa menggambarkan nikmat yang sedang kurasakan ini. Apalagi aku menyerahkan diriku sepenuhnya pada Adrian, maka rasa nikmat ini makin menjadi jadi.
Dan aku makin tak kuasa menahan nikmat ketika Adrian mulai menjarah payudaraku. Ia meremas begitu lembut, ia memainkan buah dadaku dengan kelembutan yang tak pernah kubayangkan, belaian yang begitu halus dan mesra, tak sedikitpun Adrian melecehkanku. Aku hanya bisa menggeliat penuh kenikmatan. Sesekali aku mendesah, saat jari jari Adrian dengan nakal memencet puting susuku, memilin dengan lembut. Sementara itu aku merasakan liang vaginaku makin becek oleh cairan cintaku.
“Aaah… eeengghh… Adrian…”, aku melenguh keenakan ketika kepala penis Adrian menyentuh dinding rahimku. Kepalaku terpental ke kanan dan ke kiri, aku menggeliat hebat. Ketika kemudian kepala penis itu bergerak kembali menuju ke arah luar, aku merasa seperti ada bola besi besar di dalam liang vaginaku, yang tertarik keluar dengan perlahan. Hal itu benar benar membuat aku tergetar hebat dan menggigil dalam kenikmatan.
Aku tahu sebentar lagi aku akan orgasme. Aku menatap Adrian dengan nafas tersengal-sengal. Kutarik lehernya dan kulumat bibirnya sejadi jadinya. Kugerakkan pinggulku hingga vaginaku menyambut tiap tusukan penis Adrian.
Adrian sendiri keadaannya juga sudah tidak karuan, nafasnya sudah seperti orang yang lari marathon.
Tapi ia cukup perkasa untuk mengantarku orgasme duluan.
“Adriaaan… eenggghhh…”, aku melenguh panjang.
Aku orgasme… orgasme yang luar biasa…
Tubuhku menggelepar, rasanya seluruh otot di tubuhku mengejang. Aku sempat sampai setengah tak sadar, rasanya begitu nikmat, seakan rohku sempat terlepas dari tubuhku.
Vaginaku berdenyut tak karuan, serasa akan meledak. Tapi aku sudah lemas. Rasanya seluruh tenagaku sudah tersedot keluar bersama orgasme ini. Untuk melenguh pun aku sudah tak punya tenaga.
Dan tiba tiba Adrian juga melolong panjang…
“Ellyyy….”, dalam keadaan seperti ini, Adrian bahkan lupa menyebut nyonya padaku…
Ia meneriakkan namaku… aku suka itu…
Kurasakan lahar panas dari penis Adrian yang perkasa, menyembur dengan banyak, berkali kali, hingga terasa begitu menghangatkan liang vaginaku. Maka sempurnalah persetubuhan kami.
Aku memandang Adrian dengan mesra, dalam kepuasan yang amat sangat. Adrian sendiri ambruk di atas tubuhku, dengan penis yang masih bersarang dalam liang vaginaku. Kurasakan degup jantung Adrian yang amat keras, ketika kedua payudaraku menempel seluruhnya pada dada Adrian yang bidang.
Aku memeluk Adrian, kukecup bibirnya dengan mesra. Kubelai punggungnya dengan lembut. Adrian sendiri mencumbuiku. Aku memejamkan mataku senang ketika ia mengecup kedua mataku dengan lembut. Adrian benar benar memperlakukan aku dengan penuh perasaan. Ia membelai kedua pipiku, telingaku, rambutku… aku bisa merasakan kalau semuanya ia lakukan untuk memuji kecantikanku. Aku malu bercampur senang, mungkin aku sedang tersenyum malu sekarang.
Tapi kebahagiaanku ini direnggut paksa oleh Arman. Ia menarik tubuh Adrian yang masih menindihku hingga penis Adrian terlepas dari liang vaginaku. Aku sampai membuka mata dan hampir mengeluh karena kecewa.
“Sudah, giliran yang lain goblok!”, bentak Arman.
Aku benci padanya… ia merenggut Adrian dariku…
Kulihat Adrian dilempar ke bawah ranjang. Dan kini, sesuai instruksi Arman, Sugeng dan Jono kembali naik ke ranjang. Dengan bernafsu sekali, mungkin karena melihat aku begitu total melayani Adrian, mereka berdua segera meyergapku.
Jangan harap aku akan melayani mereka seperti aku melayani Adrian tadi…
Mereka dengan kejam mulai memperkosaku bersamaan. Sugeng melebarkan pahaku, dan dengan tanpa perasaan ia menjebloskan penisnya ke dalam liang vaginaku. Selagi aku ternganga kesakitan, Jono membenamkan penisnya dalam mulutku. Aku harus melayani mereka berdua.
Aku melayani mereka tanpa ekspresi…
Mereka tak memberiku kenikmatan… Mereka hanya memuaskan diri mereka sendiri…
Kurasakan penis Sugeng sudah berdenyut keras, dan pemiliknya mengerang-ngerang. Mungkin ia terpengaruh sekali dengan live show persetubuhanku dengan Adrian tadi. Untung saja, karena aku tak harus berlama-lama melayani dia.
Aku membiarkan saja sperma sopirku ini menodai vaginaku.
Bahkan Jono juga segera menyusul, ia mengeluarkan lahar panasnya dalam mulutku.
Padahal aku sama sekali tak mengulum penisnya…
Semua itu disorot oleh Arman dengan bersemangat.
Adrian kelihatan puas melihatku baru saja jadi bulan-bulanan dua orang tadi. Ia memeriksa hasil rekamannya sebentar, sementara Sugeng dan Jono tertawa puas. Aku tak memperdulikan mereka, dan aku mencari cari Adrian dengan pandangan mataku. Akhirnya aku menemukan Adrian, ia terlihat memandangku, pandangan yang meluluhkan hatiku.
Itu adalah pandangan seorang laki laki yang merasa bersalah, yang tak bisa melindungi gadisnya.
Itu adalah pandangan seorang laki laki yang mencintai seorang perempuan…
Oh Adrian… apakah kamu memang mencintai aku?
—
“Elly. Aku tak ingin mendengar kamu memecat mereka bertiga ini. Karena kalau kamu memecat salah satu saja dari mereka, dua DVD rekaman kamu akan sampai ke meja Albert”, lagi-lagi Arman memberikan ancamannya padaku.
Aku diam saja, sementara Sugeng dan Jono bersorak.
Adrian juga diam saja.
Arman pergi keluar dari kamarku, diikuti oleh Sugeng dan Jono. Sempat kudengar mereka berterima kasih pada Arman. Benar-benar biadab. Mereka berterima kasih karena mendapat kesempatan memperkosa aku, majikan mereka. Dan mereka tertawa tawa, membuatku makin muak.
Kini tinggal Adrian yang belum keluar, dan sebelum keluar dari kamarku, Adrian sempat meminta maaf sekali lagi padaku.
“Maafkan saya… nyonya”, kata Adrian, yang menundukkan kepalanya dengan sedih.
Aku perlahan mengangguk, dan tanpa sadar aku berkata, “Terima kasih Adrian”.
Aku terkejut sendiri dan tersenyum malu padanya. Adrian keluar dari kamarku dengan langkah gontai. Ingin aku meneriakkan isi hatiku pada Adrian, kalau ia jangan merasa bersalah, karena aku amat menikmati saat-saat bersetubuh dengannya tadi. Tapi aku diam saja. Aku memang merasa kalau Adrian mencintai aku, tapi itu kan hanya perasaanku saja. Bagaimana kalau ternyata perasaanku salah?
Maka selesailah penderitaanku hari ini, dan aku tahu entah kapan, tapi aku pasti akan menerima kebiadaban lain dari Arman.
Tapi aku tak menangis…
Aku membersihkan diriku di kamar mandi. Setelah itu aku memeriksa keadaan rumahku, dan aku memastikan Arman sudah tak ada lagi. Maka aku mencari tasku dan mengambil kunci kamar tempat aku menyembunyikan bayiku. Aku melihat bayiku menangis pelan, dan dengan rasa bersalah aku segera menggendong anakku. Aku tahu bayiku ini sedang lapar, maka aku segera menyusuinya… dengan puting susuku yang telah dijarah oleh beberapa lelaki…
Aku memikirkan kejadian tadi.
Ada satu kenikmatan luar biasa yang kuperoleh hari ini, yaitu ketika aku bersetubuh dengan Adrian.
Dan sejujurnya, aku ingin mengulanginya lagi…