Rabu, 17 Februari 2016

Dengan Tubuhku Ku Lunasi Hutang suamiku

Sakitku bukan fisik semata, tapi hatiku juga hancur lebur saat suami memaksaku melayani teman-temannya sebagai pelunas hutang-hutang judinya.

Dion (35) adalah suami yang menikahiku karena perjodohan. Orangtua Dion adalah sahabat orang tuaku. Pernikahan itu sendiri memang berlangsung mewah untuk seukuran desaku. Orangtua Dion adalah petani tembakau. Dion anak kedua dari tiga bersaudara. Dion bersekolah di kota Semarang sejak kecil hingga lulus SMU.


Ratih Bulandari (28) namaku, Sejak kecil hingga tamat SMU aku bermukim di Salatiga. Orangtuaku nyaris tak pernah mengajakku bepergian, bahkan kota Semarang dan Yogyakarta kuketahui lewat wisata sekolah. Di desa, aku digunjingkan sebagai perawan tua karena hingga usia 27 tahun aku belum juga mendapat jodoh.

“Aku Ratih, umurmu sudah tua, kok belum dapat jodoh juga. Kamu akan bapak jodohkan sama anak teman Bapak ya,” kata Bapakku suatu kali. “Inggih Pak, kulo nderek mawon,” jawabku menyetujui usulan Bapak.


Dua bulan kemudian undangan pernikahanku sudah beredar, namun tak sekalipun aku bertemu Dion, paling hanya lewat foto yang dibawa oleh Bapakku. “Dion belum bisa cuti kerja, nanti saja cutinya diambil sekalian hari pernikahan,” alasan Bapakku saat kutanya kenapa Dion tak bertandang ke rumah kami. Kan aku ingin berkenalan dengan calon suamiku.


Pernikahan kami berjalan lancar, tetamu banyak berdatangan membawa kado bermacam-macam, hampir sebagian besar alat rumah tangga. Kami juga menanggap wayang kulit, pertunjukan kesenian Jawa Tengah yang didalangi oleh Ki Bondo ahli pewayangan di desa kami. Pokoknya pernikahan kami meriah dan berkelas untuk ukuran desa kami.


Malam usai pernikahan, Dion tak menyentuhku. “Aku lelah, ngantuk. Aku meh turu,” tegasnya langsung tertidur. Aku hanya diam dan malu karena harus berbagi ranjang dengan pria yang baru kukenal tadi pagi saat akad nikah. Dalam diam kupandangi wajah Dion, berwajah persegi empat, dengan rahang tegas, rambut sedikit berombak. Dengkuran kecil mengiringi tidur lelapnya.


Hanya tiga hari Dion di rumah, kemudian diajaknya aku ke kota Semarang menuju kediamannya. Dion kontrak disebuah rumah kecil tanpa halaman dan mempunyai satu kamar tidur, satu ruang tamu, dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar mandi. Cukuplah rumah itu bagi kami berdua. Sejak menikah praktis aku di rumah saja, Dion berangkat kerja pagi dan pulang pukul tujuh malam. Dion mengaku bekerja di perusahaan garmen, entah bagian apa.


Baru dua bulan pernikahan, Dion di PHK karena order garmen perusahaannya tempat bekerja mengalami kesulitan. Banyak pesanan yang datang dari Amerika dibatalkan, alasannya Amerika sedang dilanda krisis keuangan. Hal tersebut berdampak pada perusahaan tempat Dion bekerja. Dion bersikukuh tak mau pulang ke Desa.


“Kita harus ke Jakarta, mengadu nasib di sana. Kita akan tinggal di rumah teman-teman saya. Pokoknya kamu diam dan ikut saya,” tegas Dion meyakinkanku. Yang namanya istri ya nurut suami, apalagi aku tak bekerja, jadi tak ada alasan untuk menolaknya.


Di Jakarta kami tinggal di bilangan Tanjung Priok, menumpang di sebuah rumah kontrakan milik Eko, teman Dion. Di rumah tersebut hanya Dion yang membawa istri, yang lain lajang.


Yang tadinya Dion perhatian dan terlihat mencintaiku kini mulai berubah. Apalagi sejak tiap malam Dion bermain kartu dengan teman-temannya. Jika kuingatkan untuk tak berlama-lama bermain kartu, Dion malah marah.



“Tih, seharian aku berjalan kaki putar-putar cari lowongan kerja, tak satupun diterima. Aku hanya menghilangkan lelah dengan bermain kartu,” urainya. Aku terdiam dan rebahan di kamar menunggu Dion.


HINGGA SUATU HARI DION MENDADAK MASUK KAMAR DAN MENDEKAPKU ERAT SAMBIL BERBISIK “SAYANG, TOLONGLAH SUAMIMU INI. AKU KALAH MAIN KARTU. AKU BERUSAHA UNTUK MENGALAHKAN EKO NAMUN MAKIN HARI KEKALAHANKU MAKIN BESAR HINGGA LIMA JUTA. JIKA TAK KUBAYAR KITA AKAN DIUSIRNYA DARI RUMAH INI, TOLONGLAH AKU TIH….”


“Bagaimana bisa mas? Uang kita hanya tinggal tiga setengah juta, dan k upayakan untuk makan seirit mungkin agar mencukupi kebutuhan makan kita, Mas Dion kan belum dapat kerja. Bagaimana mungkin kita membayarnya, dengan apa mas?” mulai terisak sekaligus kebingungan menerpaku.


Ratih sayangku, kali ini mas benar-benar meminta tolong padamu, biarkan Eko tidur denganmu malam ini hingga besok pagi. Utang tersebut akan lunas,” papar Dion. Aku tak mampu berkata-kata. Aku menangis lirih, tapi hanya inilah yang dapat membantu suamiku dari masalahnya. Aku mengangguk pelan menyetujui permintaannya.


Malam itu, Eko masuk kamar, dan berdiam diri di sebelahku. “Bukan seperti ini Tih, bukan permintaanku Tih, tapi suamimu yang mengusulkan sebagai pelunas hutangnya. Aku tak bisa membiarkanmu terlibat dalam hutang suamimu, Ratih,” parau suara Eko.


“Aku menyetujuinya kok Mas Eko, tapi besok pagi seluruh hutang mas Dion lunas ya,” bisikku tak kalah parau. Entah siapa yang memulai, kami berpagutan dan saling menindih, berguling tanpa suara. Jujur saja, malam itu aku mendapat kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh Mas Eko.


Dengan tangannya, dengan lidahnya, Mas Eko memuaskanku. Subuh aku terbangun dan memintanya lagi dan Mas Eko memberiku kepuasan tak berkesudahan.



“Mas Dion, aku tak mau membahasnya. Aku sudah berkorban melunasi hutangmu, jangan bertanya-tanya lagi tentang tadi malam,” hardikku kesal kepada Mas Dion saat dia menanyakan perihal yang kukerjakan tadi malam bersama Mas Eko.


Ternyata, pembayaran hutang tersebut tak berhenti hingga disitu. Kawan-kawan Mas Dion yang lain membujuk suamiku agar aku melayani hasratnya dengan bayaran satu juta semalam. Mas Dion setuju karena hingga berbulan ini dia belum mendapat pekerjaan. Kami terjepit masalah ekonomi namun dengan cara ini kesulitan keuangan kami dapat teratasi sementara.


Maka hampir setiap malam aku melayani teman-teman Mas Dion yang kos di rumah kontrakan Mas Eko, aku menikmati belaian setiap pria tersebut. Aku menikmati cumbuan panas itu. Aku belajar bercinta dengan selusin pria. Dan tiap malam pria-pria tersebut meniduriku minimal dua kali. Aku mendapatkan uang yang cukup hingga mampu untuk pergi mencari kontrakan rumah sendiri.


Setelah aku pindah rumah, aku tak lagi melayani jasa seksual pria hidung belang. Aku menjadi istri setia kembali, toh Mas Dion sudah bekerja sekarang walaupun hanya sekedar supir pribadi seorang pengusaha China. Tapi gaji, bonus dan tunjangan kesehatannya cukup untuk menghidupi kami. Aku dan Mas Dion tak sekalipun pernah membahas kejadian tersebut hingga kini. Kami melupakannya begitu saja.
Related Post