Rabu, 17 Februari 2016

Pegang, ma. Pegang. Sudah keras kan?

Ketika aku melahirkan Gilang, anakku, satu-satunya, menurut dokter rahimku harusdibuang, karena sudah terinfeksi. Masih untung aku bisamelahirkan anakku dengan selamat. Sejak saat itu, dipastikan tidak bisa melahirkan lagi. Tapi bukan berarti aku tidak bisa bersetubuh lagi. Justru nafsuku semakin hebat. Aku pun meneruskan bersetubuh dengan suamiku setiap malam, sampai anakku berusia 5 tahun.

Kejadian menyekitkan pun terjadi. Suamiku meninggal dalam kecelakaan, lalu lintas. Aku sangat bersedih. Aku dan anakku Gilang hidup berdua. Sebuah toko kecil peninggalan suamiku, bukan semakin surut, justru semakin berkembang. Aku bahagia dengan Gilang. Untuk nafsuku, aku harus membeli dildo yang mirip [penis laki-laki. Dengan alat itulah aku melepaskan keinginan seks-ku.

Tak terasa Gilang tumbuh remaja. Kini dia sudah berusia hampir 15 tahun. Aku baru sadar, kalau Gilang sudah menginjak remaja. Walau demikian, kemanjaannya, tetap tak berubah. Kami tidur satu kamar dan seranjang. Aku sadar, kalau satu malam Gilang memegangi penisnya. Aku melihatnya. Penis itu sudah berdiri keras.
“Kamu sedang apa Lang?” tanyaku perlahan.
“Ini ma, megang-megang titit. Kata teman-teman, kalau sudah keras seperti ini, sudah bisa ngentot,Ma?” tanya Gilang. Ingin rasanya aku memarahinya. Tapi, byukankah pertanyaannya itu sebuah pertanyaan yang lumrah dan harus dia ketahui?

“Nanti kamuketahui sendiri,” kataku.
“Kata teman-teman, kalau ngentot itu nikmat sekali. Benar gak ma?” dia bertanya lagi. Huh… bagiamana aku harus menjawabnya? Gilang menarik tanganku dan mengarahkan ke penisnya.
“Pegang, ma. Pegang. Sudah keras kan?” katanya.
Aku terkejut, setelah tanganku menyentuh penisnya yang keras itu. Dadaku bergetar. Darahku berdesir. Oh… tidak. Tak mungkin. Dia adalah anakku. Anak kandungku sendiri. Tapi rasa inginku disetubuhi semakin kencang dan dadaku bergelora. Oh…

“Ma… Gilang mau ngentot ma. Boleh gak ma?” Ya ampun. Bagaimana aku menjawabnya. AKu katakan tidak boleh, diapasti tersinggung. Buah hatiku satu-satunya. Jika kukatakan boleh, mana mungkin Gilang menyetubuhi diriku. Tidak.
“Ma… boleh gak ma, kalau Gilang ngentot mama. Gilang mau tau, apa benar enak apa tidak,” katanya lagi. Aku masih tetap diam. Nafasku sudah tak teratur memagangi penisnya.
“Kamu tidak boleh bercerita pada siapapun. Berjanji?” kataku. Aduh… kok aku keceplosan ngomong?
“Iya ma. Aku janji, ma,” katanya.

Cepat kulepas celana dalamku. Ternyata sudah basah. Dadaku menggemuruh dengan kencangnya. Gilang melihatku membuka celana dalamku hingga dari pusat ke bawah, aku sudah bugil.
“Ayo naiklah ke tubuh mama,” kataku. Gilang menindihi tubuhku. Kulepas bajuku dan kusodorkan tetekku padanya.
“Isaplah tetek mama,” kataku. Gilang mengisapi tetekku. Kukangkangkan kedau pahaku dan kuarahkan penis keras Gilang dengan ukuran biasa saja ke dalam lubangku.
“Tekan ke dalam,” bisikku. Gilang menekan penisnya ke dalam lubangku. Oh… aku merasakan lubangku dipenuhipenis gilang. Sudah belasan tahun aku tak merasakannya. Walau sesekaliaku menginginkannya, tapi aku mampu bertahan. Walau ada lelaki iseng ingin merayuku, aku tetap bertahan. Sesekali, hampir runtuh juga pertahananku.
Belum apa-apa, aku sudah orgasme. Aku memeluk Gilang dengan kuatnya sembari melepaskan kenikmatanku. Setelah orgasme aku membiarkan Gilang di atas tubuhku. Aku mulai merasakan Gilang memompa lubangku. Tak lama aku jadi menginginkannya kembali. Aku meresponsnya dearibawah. Kupeluk tubuh Gilang dan menjilati lehernya. Gilang memompaku semakin kuat dan cepat.
“Maaaaaaa…..” rintihnya. Aku mengerti Gilang akan tiba pada puncaknya. Aku harus segera mengimbanginya, kalau aku tak ingin kehilangan kenikmatanku untuk kedua kalinya. Benar, Gilang memelukku kuat sekali dan aku merasakan semprotan spermanya lepasdi dalam lubangku. “Maaaaaaaa…..” Gilang menjerit. Untung kamarku agakluas, hingga aku yakin, suaranya tak terlepas ke luar rumah. Tak lama Gilang terkulailemas di atas tubuhku. Aku merasakan penisnya telepas darilubangku setelah mengecil.

“Bagaimana, sudah tau rasanya ngentot?” tanyaku berbisik. Gilang tak menjawab. Nafasnya masih memburu. Kuelus-elus kepalanya dengan kasih sayangku. Bagaimanapun, dia adalah anaku satu-satunya. Sampai akhirnya nafasnya kembali teratur. Aku mengajaknya ke kamar mandi untuk membersihka diri. Setelah itu kami tertidur lelap.

Aku tak mendengar suara Adzan subuh menggema. Aku tertidur pulas, setelah belasan tahun takmerasakan kenikmatan. Silau matahari, menusuk kelopak matanya dari kisi-kisi jendela. Aku tak langsung membuka mataku. Tapi aku merasakan sesuatu. Tetekku sedang diisapi oleh Gilang. Mungkin gilang sudah terbangun dari tadi. Dan… aku sedang telanjang bulat. Pasti Gilang yang membuka kimonoku dan celana dalamku. Kulirik, Gilang memang sudah bugil. Ah… darahku bagai distrum listrik. Begitu cepatnya aku bernafsu.

“Kamu mau lagi sayang?” tanyaku berbisik.
“Mau ma…” katanya. Kubiarkan dia mengisapi tetekku dan merabai tubuhku. Aku ingin tahu apakah dia sudah pernah melakukanpersetubuhan selain dengan diriku. Ternyata, Gilang masih sangat polos. Bulu jembutku dielus-elusnya. Akhirnya, kami bersetubuh kembali di pagiitu. Kebetulan hari itu hari libur, hinga kami tak perlu bangun cepat-cepat, karean toko juga tak kami buka jika libuir. Harus ada waktu istirahat.

Setelah mandi pagi, kami sarapan. Aku minta, agar Gilang tidak bercerita kepada siapapun. Jika Gilang bercerita, aku mengancam, aku akan bunuh diri. Gilang punberjajnji. Kami bersendagurau di rumah seharian penuh. Saat aku duduk di kursi, aku meminta Gilang naik ke tubuhku. Kedua kakinya mengangkangiku. Aku memeluknya dan mengajarinya berciuman. Mengajarinya menisap tetek, mengajarinya menjilati klitorisku. Aku mengajaribanyak hal tentang seks. Kemudian aku mengatakan pada Gilang, kami hanyaboleh melakukannya dua kali dalam semingu, malam selasa dan malam jumat. Gilang menyetujuinya. Perjanjian itu, justru sesekali aku yang melanggarnya. Entah kenapa, selalu saja tiba-tiba aku menginginkannya. Dengan senang hati, Gilangpun melayani permintaanku.

Setelah persetubuhanku dengan Gilang, makaniatku untuk menikah lagi, hilang dengan sendirinya. Aku tak akan menikah dengan laki-laki manapun juga, karean Gilang mampu memberikan yang terbaik untukku, melebihi apa yang pernah kuterima dari papanya. Sampai kapan? Sampai Gilang menikah nanti
Nyatanya, setelah Gilang menikah dalam usia 26 tahun, saat isterinya bekerja, Gilang selalu mengajakku bersetubuh. Menurutnya, tiada yang senikmat bersetubuh denganku dan menurutnya, aku orang yang paling mampu memuaskannya dan menyayanginya.

Aku tersenyum bangga dan aku selalu memberikan apa yang diinginkan oleh Gilang, karean sebenarnya aku juga sangat membutuhkannya. Menurutku, tiada laki-laki yang seperkasa Gilang, walau usiaku sudah 42 tahun. Justru kamu sering melakukannya di tokok saat aku mau menutup toko. Kami sudah sama-sama susah menahan diri, saat itu kami melakukannya dengan duduk atau berdiri atau posisi apa saja. Tak lama. hanya 10 menit, kami mampu mencapai puncak kenikmatan kami.
Bagi kami bersetubuh bukan soal lama atau tida, tapi soal nikmat yang mampu kami rasaka bversama. Nikmat adalah puncak segala-galanya.
Related Post