Dan sekarang ini nggak tahu kekuatan apa yang menuntunku. Naluriku tiba-tiba mendorongku mengambil dompet dan mengeluarkan catatan kartu dari si Abang sopir taksi itu. Ter-ngiang di telingaku kata-katanya saat menyelipkan ke calam tasku.
"Nih, Bu. Kalau ibu perlu saya sewaktu-waktu, ibu bisa telepon saya".
Kubaca, Cecep, HP: 0815xx412. Dan timbul dorongan yang begitu kuat agar aku berjalan menuju pesawat telepon serta memutar nomer HP Cecep ini. Sesaat kudengar nada
panggil kemudian dari kejauhan. Aku gemetar menahan gejolak hatiku,
"Hallo, halloo.. halloo.."
Aku mendengarkan tetapi tetap diam. Hatiku deg-degan. Jantungku berdegup cepat. Yaa.. Aku ingat suara itu. Suara Cecep si Abang sopir taksi. Aku tegang. Cepat kututup dan kutaruh kembali telponku. Sambungan putus. Aku dikecamuki rasa bimbang.
Tiba-tiba telepon berdering.. Aku biarkan sejalan kebimbanganku.. Namun akhirnya kuangkat juga.
"Hallo... selamat siang Bu.. Maaf saya barusan menerima telepon, apakah dari ibu?" aku setengah hati dan ragu untuk menjawabnya. Namun tiba-tiba bibirku begitu saja nyelonong,
"Oo.. Iya Bang. Eecchh.. Aanu.. Eehhm.. Saya yang tempo hari naik taksi Abang ke Kemayoran..."
"O yaa, saya ingat buu.. Bagaimana kabarnya.. Apa ibu berminat untuk menjadi teman makan siang Pak Purnawan? Kemarin dia nanyain saya lagi.. Orangnya baik lho Bu. Pokoknya ibu nggak usah khawatir. Bagaimana kalau nanti sore? Saya bisa jemput ibu," si Abang mencecer aku.
Jantungku langsung memukul dadaku kencang. Dan hasrat libidoku bergetar. Kurasakan darah naik mendesaki mukaku.
"Jam berapa?" tanpa pertimbangan kembali mulutku meluncurkan kata-kata.
"Bagaimana kalau jam 4.30 sore. Biasanya Pak Purnawan santai minum kopi di lobby hotel lho"
"B.. Bba.. Baik.. Saya menunggu Bang Cecep saja yaa..".
Sekali lagi kenapa Kok menjadi begitu gampang aku mengambil keputusan ini. Mungkin karena kebetulan suamiku sedang tak di rumah sehingga hal-hal risiko tak kuhadapi secara langsung.
Begitu telepon kuletakkan aku bengong sesaat. Apa yang akan kulakukan ini? Sudahkah aku tak waras? Aku masih bisa membatalkan kalau aku mau.
Namun itu tak terjadi. Dengan gemetar yang tersisa aku bangkit dan langsung menuju kamar. Masih sekitar 3 jam lagi sebelum Bang sopir menjemputku. Aku berdiri di depan cermin. Kupantas-pantaskan gayaku, kuamati wajahku. Adakah yang mungkin mengganggu tampilanku.
Aku mesti tampil bagaimana nanti? Dengan pakaian macam apa yang harus kupakai? Antara ragu, bimbang dan desakkan obsesiku terus berebut. Dan aku harus berbuat sesuatu..
Akhirnya aku memilih rok dan blus setipis sutra hadiah ulang tahun suamiku berikut jaket dekron dengan tepian ornamen batik. Aku memikirkan banyak kemungkinan. Apabila situasi diperlukan aku bisa melepaskan jaketku untuk menunjukkan bahu dan sedikit celah pinggulku pada pertemuan rok dan blusnya. Aku akan nampak sangat 'wanita', feminin, dengan busanaku ini. Dan kemudian tak lupa kusemprotkan dengan hati-hati parfum Lancome, mudah-mudahan yang aslinya nih, di ketiakku, di leher dan sedikit pada lipatan busanaku.
Semua itu kulakukan dengan jantung yang terus berdegup serta darah yang memanas di wajahku. Aku benar-benar sedang memasuki wilayah terlarang. Yang selama selalu ditabukan oleh para istri yang terhormat.
Tepat jam 3 sore Bang Cecep menjemput aku. Tak kupungkiri, aku kembali dipersimpangan bimbang dan ragu. Namun setiap kali organ tubuhku yang melanggarnya. Kakiku demikian saja melangkah keluar rumah menjemput Bang Cecep. Aku telah siap. Aku tak ingin taksi ini berada dan menunggu kelamaan di depan rumah. Nanti mengundang pertanyaan orang. Saat aku keluar kuperhatikan sesaat, tak ada tetangga yang berada di luar. Aku langsung masuk mobil dan taksi meluncur.
Ternyata sore hari ini aku telah mengambil sebuah keputusan besar. Tanpa sepenuhnya kusadari kini aku sedang meluncur menuju sebuah kehidupan pengkhianatan dan perselingkuhan. Aku sedang terjun bebas meninggalkan kesetiaanku pada Mas Pardi suamiku.
"Bang... saya pengin lihat dulu orangnya ya.. Nanti kalau rasanya nggak cocok saya pulang lho," timbul rasa khawatir dan sedikit takut. Dan itu kusampaikan pada Cecep.
"Ibu nggak usah takut, Bu. Itu nanti terserah Pak Purnawan dan ibu. Pokoknya saya sudah melakukan tugas saya," jawab Cecep meyakinkan aku.
Taksi meluncur ke jalan Thamrin. Menurut Cecep Pak Purnawan menunggu saya di Grand Hayyat Thamrin. Begitu memasuki area gedung mewah berlantai 20 Cecep membawa aku langsung ke ruang parkir agar bisa mengantar aku menuju lobby hotel. Nampaknya dia paham liku-liku gedung ini.
Sesudah melewati shopping arcade yang menampilkan berbagai barang-barang yang sangat mewah kami sampai di sebuah pintu kaca dengan eskalator. Kami masuk dan naik hingga sampailah ke lobby Grand Hayyat. Setelah celingak-celinguk nampak seseorang melambai ke arah Cecep. Mungkin dia orangnya.
"Mari Bu, tuh Pak Purnawan sudah menunggu," sambil dia berjalan dan aku mengikutinya.
Hatiku berdebar kencang. Benarkah dia? Pria yang demikian tampan itu. Dia macam bintang selebritis Primus yang pemain sinetron itu. Aahh.. Sungguh mempesona. Dengan dasinya yang demikian serasi nampak lelaki ini sangat aahh.. uuhh.. Aku tak bisa mengungkapkannya. Rasanya ada pancaran yang meluluh-lantakkan sanubariku dari sosok pria yang ingin kutemani minum kopi ini.
Dengan segala pesonanya Pak Purnawan berdiri menyongsong aku. Aku terpana. Di depanku berdiri lelaki jangkung dan sangat macho. Apakah aku bermimpi? Kami saling berjabat tangan memperkenalkan diri,
"Purnawan..."
"Tati," jawabku agak gemetar.
Sosok itu demikian jangkung di depanku. Aku hanya setinggi pundaknya saja. Selintas hidungku menyergap aroma tubuhnya yang wangi. Sebelum beranjak untuk duduk, dengan 'handsome'nya Pak Purnawan merogoh kantongnya dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu rupiah kepada Cecep sambil,
"Terima kasih Cep".
Ahh.. aacch.. Yang sangat mempesona. Lelaki itu menunjukkan 'sex appeal'-nya padaku. Dengan senyum mengembangnya Cecep menerima asongan dari Pak Purnawan. Sepintas dia melihati aku sebelum mengangguk dan pergi.
"Apa kabar jeng Tati? Kita duduk di sana yok..." sambil tangannya meraih tanganku kemudian beralih ke pinggangku, dia membimbing aku menuju meja di pojok lobby dengan pemandangan yang sangat mempesona. Panorama bunderan air mancur dengan patung Selamat Datang-nya yang sangat terkenal itu nampak tepat di depan tempat duduk kami. Aku sungguh sangat tersanjung dengan sikap Pak Purnawan ini.
Aku sepertinya kena sihir. Begitu mudah aku menerima perlakuan Pak Purnawan pada diriku. Begitu tanpa mengelak saat dia meraih tangan dan menggamit pinggangku. Entah karena apa. Mungkin karena suasana kemewahan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Atau memang ketampanan lelaki macam Pak Purnawan yang demikian jauh dari Mas Pardi yang selalu nampak loyo dan kumuh? Dan.. Aku rasa tak ada perempuan yang akan menolak gamitan tangannya. Atau bahkan mungkin tidur dengannya.
Aku masih berpikir, memang beginikah semestinya menemani makan atau minum kopi di hotel?? Pakai membimbing tangan dan merangkul pinggangku? Aku ingin menolak namun khawatir dianggapnya kurang gaul. Aku nggak tahu mesti bagaimana membawakan diriku. Akhirnya yaa.. Kuikuti saja apa yang terjadi. Jangan sampai Pak Purnawan memandangku sebagai perempuan blo'on, khan?
Terus terang rasa banga dan tersanjung berkecamuk dalam diriku. Antara senang karena seorang aku, Tati, yang hanya istri PNS bisa duduk di tempat yang super mewah bersama pria setampan Primus yang bintang sinetron itu. Bagaimana aku bisa menolaknya?? Bukankah ini kesempatanku untuk merasakan bagaimana menikmati hotel termahal di Jakarta dan duduk bersama Pak Purnawan yang pengusaha sukses ini? Adakah tampilanku sesuai dengan tampilan Pak Purnawan ini.
Untung aku telah mempersiapkan diriku secara maksimal menjelang keberangkatan dari rumah tadi. Kupakai gaun pilihanku serta sebentuk perhiasan di leher dan tanganku yang cukup menarik. Aku yakin gaun pilihanku serta aroma Channel No.5 dari tubuhku telah membuat Pak Purnawan tidak ragu atau malu menuntun aku di tempat yang super mewah ini.
Pelayan yang sangat santun datang memberikan katalog mewah berisi daftar minuman atau makanan yang ingin kami pesan. Pak Purnawan bertanya padaku mau pesan apa? Minum apa?
"Terserah Pak Pur sajalah..." jawabku yang kurasakan agak 'norak'.
"Jangan panggil Pak, jeng.. Memang aku sudah nampak tua?? Mau panggil Mas??" dia melempar senyuman yang begitu tampan menawan. Nampak banget kelelakian Pak.. Eh Mas Purnawan ini. Bagaimana aku mampu menolak rangkulan tangannya.
"Jeng Tati nggak keberatan khan kalau hari pertama ini nemenin saya bersama teman-teman sampai sekitar jam 9 malam nanti?? Yaa.. Total sekitar 4 jam-lah," reaksi pertamaku adalah menghitung 4 X Rp. 1 juta atau Rp. 4 juta aku bisa bawa pulang sore pertama ini. Hi, hii..
Bersambung ke bagian 3